Need For Islam
It's all about Islam, News, Software, Gadget, Computer, Tips and Trick, Programming, and Technology
Tuesday, May 5, 2015
Yuuuukkkk beribadah dengan ikhlas....!!!!!
Amal baik, sedekah dan Ibadah yang dilakukan dengan mengharap pujian, sanjungan, dilakukan karena gengsi. sama seperti kita menyiram benih yang baru kita tanam dengan minyak tanah atau racun. bukanya tumbuh atau berbuah malahan mati.
Yuk beramal shaleh, tapi dengan berlandaskan Ilmu,
Yuk bersedekah, tapi dengan berlandaskan keikhlasan,
Yuk beribadah, tapi dengan mengharap ridlho Allah semata,
Mari tanam benih kebaikan sebanyak mungkin, sebagus mungkin.
Karena kelak kita pasti akan menuainya.
Bersihkan Alang - alang iri , rumput - rumput dengki, jamur - jamur hasad yang mengganggu benih keikhlasan yang kita tanam.
Buang jauh – jauh Dendam, prasangka buruk ( su’udzhon ), karena itu merupakan hama dan benalu.
Lapangkan Hati, jadilah pemaaf, itu adalah pupuk yang baik.
Perbanyak Ilmu agama lalu amalakan, itu adalah sebaik – baik siraman.
Semoga Allah meridlhoi setiap yang kita lakukan,
Semoga Allah membimbing kita agar senantiasa berada dijalan yang benar,
Semoga kita tetap Istiqomah tawakkal di jalan Allah... amin,
Mari kita perbaiki.
Label:
Tausiyah
Saudari-saudariku..... Jilbabnya di pake donk...!!!
Bismillah…
Saudariku seiman....
Bagi kita kaum Muslimin, tentu tahu kewajiban kita masing-masing. Mulai dari Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dll.
Dan salah satu dari itu ya… “MENUTUP AURAT”
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya…’” (Annur:31)
di bawah ini adalah sebuah kisah yang insyaAllah dapat menyadarkan para muslimah yang masih belum berjilbab agar mereka mendapatkan keikhlasan mereka untuk berjilbab. InsyaAllah:
aku ingin bercerita sedikit...
" aku mulai memakai jilbab saat masuk di bangku SMP. tepatnya di sebuah SMP negeri di kota kecilku (Blora). aku adalah siswa pertama yg memakai jilbab setelah sekian tahun sekolah itu berdiri. tidak gampang membuat mereka (para siswa termasuk guru2nya) menerima kehadiranku. Aku seperti ora...ng asing disana, semua memandangiku seperti orang aneh, banyak yg mencelaku, mencemoohku dengan kata2 yg kurang menyenangkan Naudzubillah..... sakit sekali hati ini mendengarnya. tp ada segelintir orang yg welcome dg penampilanku yg memakai jilbab. yah, pastinya aku jd terkenal disana, jd pusat perhatian disana.. tp waktu menjawab semuanya, orang2 yg tadinya mencemoohku, mencelaku jd berbanding terbalik dia mjd respek sm aku...."
Alhamdulillah aku masih bisa bertahan dg jilbabku sampai saat ini.
meskipun aku blm bs memakai jilbab yg besar.
"selama perubahan itu adalah sesuatu hal yg positif knp mereka tidak mau menerimanya?????"
oleh Sita Pambudi
Label:
Tausiyah
Menggapai Ikhlas, "Gunung"
Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.
“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
***
Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.
Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.
Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.
“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
***
Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.
Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.
Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”
Label:
Tausiyah
Subscribe to:
Posts (Atom)